Perjalanan satu jam dari Labuan Bajo dengan speed boat terasa singkat saja menuju desa komodo. Bagaimana tidak, langit dan laut biru lazuardi, perbukitan hijau di latar belakangnya melukiskan gradasi warna, semua membuat imajinasi berkelana, seolah kita tengah menuju ke sebuah negeri peri yang istimewa.
Mendarat di dermaga, wajah ramah anak-anak kecil dan warga langsung menyapa seakan mengucapkan: “Selamat datang di desa kami, Desa Komodo di Pulau Komodo!”
Satu hal yang pasti, saat mengunjungi habitat asli Komodo, meskipun masih di perkampungan penduduk, wisatawan harus didampingi pemandu atau ranger yang memahami lokasi dan tabiat sang satwa langka.
“Karena di sini manusia dan Komodo hidup berdampingan, maka harus saling menjaga. Kita jaga Komodo biar tidak terganggu, kita jaga pula wisatawan biar perjalanan nyaman,” tutur Pak Karim dan Pak Hatmin, kedua pemandu lokal Desa Komodo, satu suara.
Idealnya, kata mereka, setiap grup maksimal 10 orang, untuk 10 orang diperlukan 2 orang pemandu.
Hadirnya pemandu lokal yang seru seperti mereka berdua, juga membuat perjalanan makin berkesan dengan beragam kisah, mitos, serta fun fact tentang Komodo yang seakan tak habisnya mereka tuturkan. Celetukan lucu penyemangat juga mengiringi langkah sehingga tak mudah lelah.
Trekking Komodo
Jalur trekking Komodo menggiring wisatawan menaiki sebuah bukit indah, dengan pemandangan lepas ke laut dan perkampungan di kakinya. Di puncaknya ada 2 pohon bidara rindang yang bisa dijadikan payung tempat beristirahat, menaungi beberapa pohon kelor (moringa) yang tumbuh liar di sana-sini. Hamparan bunga rumput, pepohonan dan perdu-perdu, serta lanskap perbukitan; membuat tempat ini seperti kepingan negeri peri.
Begitu pula water hole di bawah salah satu pohon besar, yang memang diperuntukkan bagi sang satwa, bagaikan oase di tengah savana.
Yang tak kalah menarik adalah kumpulan kambing yang bebas saja bergerombol merumput di atas bukit, menjadikan video dan foto yang terdokumentasikan seakan diambil di sebuah tempat di New Zaeland.
Menurut pemandu, kambing-kambing itu tahu kapan dan ke mana harus pulang. Aman, karena warga desa tidak akan mencuri yang bukan haknya. Apabila ada satu dua kambing menghilang, penduduk mengiklaskan. Mereka paham, berarti Komodo mengambilnya sebagai santapan.
Pemandu juga mengingatkan, kadang anak Komodo naik ke pohon sebagai insting perlindungan diri. Mereka menyantap binatang kecil seperti cicak sebagai mangsanya.
Main ke Perkampungan Warga Desa
Turun dari bukit, wisatawan akan dibawa menelusuri lorong-lorong perkampungan penduduk yang hangat, dengan beberapa bangunan rumah panggung khas Bajo. Mayoritas warga di sini beragama Islam, jadi tak jarang kita bertemu para ibu berbusana muslimah tengah berbelanja di warung atau bercakap-cakap dari depan pintu rumah mereka.
Di Desa Komodo tinggal puluhan pematung yang juga memahat patung Komodo dari kayu sebagai cendera mata atau pesanan dekorasi. Dulu, kayu yang biasa digunakan adalah kayu hitam sesuai warna asli Komodo. Namun sekarang patung bisa juga dibuat dari kayu waru laut, jati, atau nara. Biasanya kayu dibeli dari luar pulau, karena seluruh Desa Komodo merupakan wilayah konservasi.
Salah satu pematung, Pak Saeh Mateha mengatakan ia adalah generasi kedua dari keluarganya yang menekuni pekerjaan seni kriya ini. Menurutnya, untuk menyelesaikan patung Komodo ukuran hampir satu meter seperti yang tengah ia kerjakan, perlu sekitar 5 hari. Namun mereka juga mengerjakan pesanan patung lebih kecil untuk cendera mata.
Meski keindahan bukit dan keramahan penduduk membuat kita betah berlama-lama, jika tidak bermaksud menginap maka jangan lupa mematuhi aturan waktu yang diberikan nakhoda kapal, agar dapat kembali ke Labuan Bajo dengan nyaman. Pada sekitar bulan Februari-Maret misalnya, speed boat sudah harus meninggalkan pulau sebelum jam 3 sore.
Selamat menikmati kepingan negeri peri. Jaga kebersihan lingkungan dan ketenteraman satwa, agar alam di sana tetap lestari.
Sumber Artikel: Link
Tinggalkan Balasan